Jumat, 01 November 2013

Menkumham: Korupsi Langgar Sumpah Jabatan PNS



Korupsi oleh pegawai negeri sipil (PNS) memenuhi klausul pelanggaran sumpah jabatan. Pelanggaran sumpah ini diancam sanksi sampai pemecatan. Menjadi polemik, ketika justru PNS yang terbukti korupsi dan telah divonis dengan putusan berkekuatan hukum tetap justru diangkat menjadi pejabat struktural.

“Kalau UU sudah mengatur, laksanakan saja , jangan lakukan penafsiran,” kata Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsudin, dalam diskusi bulanan Kementerian Hukum dan HAM, di Jakarta, Selasa (20/11/2012). Termasuk dalam masalah PNS yang terlibat perkara korupsi ini.
Sebagai contoh, Menteri Hukum dan HAM memunculkan kata ‘dapat’ yang kerap menjadi perdebatan dalam perkara hukum. Jangan sampai, kata tersebut ditafsirkan sebagai fakultatif atau pilihan saja, dengan kecenderungan tidak dijalankan.

Wakil Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, berpendapat seharusnya tak ada polemik soal pemecatan PNS yang terbukti korupsi dan telah divonis berkekuatan hukum tetap. “Ini melanggar sumpah jabatan, harusnya sudah tak ada polemik, “ kata dia dalam diskusi yang sama.
Pelanggaran sumpah jabatan, ujar Emerson, dalam peraturan-perundangan terkait kepegawaian dan disiplin pegawai, terancam pemecatan. Korupsi, tegas dia, selalu dikaitkan dengan jabatan yang disandang, memanfaatkan peluang yang melekat pada jabatan tersebut. Sehingga jelas pelanggaran sumpah jabatan telah terjadi.

Meski dinilai kurang tegas, UU Pokok-Pokok Kepegawaian menurut Emerson juga sudah mengatur tentang pemecatan pegawai yang terbukti melakukan pidana dan telah mendapat putusan hukum berkekuatan hukum tetap. “Harusnya dipertegas, untuk kasus teroris, narkoba, dan korupsi, langsung dilakukan pemecatan,” ujar dia.
Pengangkatan Azirwan sebagai pejabat struktural di Riau, menurut Emerson adalah preseden buruk untuk reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi. Sebelumnya, Azirwan tersangkut perkara korupsi saat menjadi pejabat di Kepulauan Riau. “Reformasi birokrasi seharusnya mendapatkan orang terbaik, ” ujar dia.

Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, mengatakan kewenangan pengangkatan PNS untuk jabatan struktural di daerah adalah kewenangan kepala daerah. Termasuk bila pejabat struktural itu sebelumnya adalah terpidana kasus korupsi. Bila pengangkatan pejabat struktural itu berada di lingkungan Pemerintah Pusat, barulah menjadi kewenangan Kementerian.

“Surat edaran saya (terkait polemik PNS korup) bukan landasan hukum. Landasan yang dipakai tetap UU,” kata Menteri Dalam Negeri. Hingga Selasa (20/11/2012), Gamawan menyebutkan 474 PNS terdata berperkara hukum, dengan sebagian besar merupakan korupsi. Rinciannya, 95 orang tersangka, 49 terdakwa, dan 330 terpidana. Menunggu hingga Senin (26/11/2012), Menteri Dalam Negeri mengaku tak akan terkejut kalau angka total PNS yang berperkara pidana mencapai seribu orang.
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johan Budi, sependapat bahwa korupsi telah melanggar sumpah jabatan PNS. “Termasuk soal menerima sesuatu yang diduga terkait dengan jabatan,” kata dia dalam diskusi tersebut.
Dalam menangani korupsi PNS, imbuh Johan, KPK bisa memerintahkan atasan yang bersangkutan untuk memberhentikannya dari jabatan struktural. “Bahkan sebelum vonis ya,” ujar dia.

Pemberhentian Tetap Kepala Daerah, PTUN, dan Peninjauan Kembali
Diskusi juga menyinggung masalah pemberhentian tetap kepala daerah yang tersangkut korupsi dan telah divonis berkekuatan hukum tetap. Muncul tren, kepala daerah yang berperkara tersebut mengajukan Peninjauan Kembali (PK) untuk kasus korupsinya, sekaligus menggugat SK pemberhentian tetap melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Kasus Gubernur Bengkulu, Agusrin M Najamuddin, adalah contoh yang banyak menyedot perhatian untuk persoalan ini. “Kasus Gubernur Bengkulu, itu hanya upaya menunda-nunda eksekusi (pemberhentian tetap),” kecam Emerson.

Agusrin telah divonis bersalah karena korupsi, mendapat vonis berkekuatan hukum tetap, dan diberhentikan tetap. Namun, PTUN Jakarta mengeluarkan putusan sela yang memerintahkan penundaan pemberhentian tersebut dengan proses PK sebagai salah satu pertimbangan.
Apapun putusan PTUN, menurut Emerson kemungkinan besar akan diikuti pengajuan banding oleh pihak yang berperkara yang berseberangan pendapat dengan putusan. Belum lagi, tak ada batasan waktu soal pengajuan dan proses PK. ICW juga mencatat, setidaknya sudah ada 20 vonis bebas kasus korupsi melalui pengajuan PK.
Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, menambahkan setelah ditunda berkali-kali, sidang putusan perkara Agusrin dijadwalkan digelar Kamis (22/11/2012). Terus tertundanya sidang putusan perkara ini bertolak belakang dengan cepatnya putusan sela yang terbit pada hari yang sama dengan didaftarkannya perkara ke PTUN Jakarta.

“Yang penting, putusan PTUN, lusa, akan sangat penting dalam agenda pemberantasan korupsi,” kata Wakil Menteri Hukum dan HAM. “Kalau sampai Gubernur yang sudah divonis korupsi oleh MA tidak dapat diberhentikan, maka itu akan sangat mengganggu komitmen dan keseriusan kita dalam memberantas korupsi”.

Dalam perkara ini, Menteri Dalam Negeri mengaku serba salah. “Mengikuti UU (yang memerintahkan pemberhentian tetap) atau putusan (sela) pengadilan ?” tanya dia. Putusan sela PTUN Jakarta untuk kasus Agusrin, diterima Menteri Dalam Negeri sehari sebelum pelantikan pejabat pengganti Agusrin.
Menteri Hukum dan HAM mengatakan tren penggunaan PK dan gugatan ke PTUN terkait pemberhentian tetap kepala daerah, adalah fenomena baru. Lama berkiprah sebagai pengacara, menurutnya dulu modus serupa tak terjadi. “Sulit mencari pandangan atau perbandingan. (Dulu) tak mengenal hal seperti ini, (putusan) kasasi tertunda karena ada putusan PTUN yang berbeda rezim. Dulu PK tak pernah seramai ini.” – (fh)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar