Korupsi oleh pegawai negeri sipil
(PNS) memenuhi klausul pelanggaran sumpah jabatan. Pelanggaran sumpah ini
diancam sanksi sampai pemecatan. Menjadi polemik, ketika justru PNS yang
terbukti korupsi dan telah divonis dengan putusan berkekuatan hukum tetap
justru diangkat menjadi pejabat struktural.
“Kalau UU sudah mengatur,
laksanakan saja , jangan lakukan penafsiran,” kata Menteri Hukum dan HAM, Amir
Syamsudin, dalam diskusi bulanan Kementerian Hukum dan HAM, di Jakarta, Selasa
(20/11/2012). Termasuk dalam masalah PNS yang terlibat perkara korupsi ini.
Sebagai contoh, Menteri Hukum dan
HAM memunculkan kata ‘dapat’ yang kerap menjadi perdebatan dalam perkara hukum.
Jangan sampai, kata tersebut ditafsirkan sebagai fakultatif atau pilihan saja,
dengan kecenderungan tidak dijalankan.
Wakil Koordinator Indonesian
Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, berpendapat seharusnya tak ada polemik
soal pemecatan PNS yang terbukti korupsi dan telah divonis berkekuatan hukum tetap.
“Ini melanggar sumpah jabatan, harusnya sudah tak ada polemik, “ kata dia dalam
diskusi yang sama.
Pelanggaran sumpah jabatan, ujar
Emerson, dalam peraturan-perundangan terkait kepegawaian dan disiplin pegawai,
terancam pemecatan. Korupsi, tegas dia, selalu dikaitkan dengan jabatan yang
disandang, memanfaatkan peluang yang melekat pada jabatan tersebut. Sehingga
jelas pelanggaran sumpah jabatan telah terjadi.
Meski dinilai kurang tegas, UU
Pokok-Pokok Kepegawaian menurut Emerson juga sudah mengatur tentang pemecatan
pegawai yang terbukti melakukan pidana dan telah mendapat putusan hukum
berkekuatan hukum tetap. “Harusnya dipertegas, untuk kasus teroris, narkoba,
dan korupsi, langsung dilakukan pemecatan,” ujar dia.
Pengangkatan Azirwan sebagai
pejabat struktural di Riau, menurut Emerson adalah preseden buruk untuk
reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi. Sebelumnya, Azirwan tersangkut
perkara korupsi saat menjadi pejabat di Kepulauan Riau. “Reformasi birokrasi
seharusnya mendapatkan orang terbaik, ” ujar dia.
Menteri Dalam Negeri, Gamawan
Fauzi, mengatakan kewenangan pengangkatan PNS untuk jabatan struktural di
daerah adalah kewenangan kepala daerah. Termasuk bila pejabat struktural itu
sebelumnya adalah terpidana kasus korupsi. Bila pengangkatan pejabat struktural
itu berada di lingkungan Pemerintah Pusat, barulah menjadi kewenangan
Kementerian.
“Surat edaran saya (terkait
polemik PNS korup) bukan landasan hukum. Landasan yang dipakai tetap UU,” kata
Menteri Dalam Negeri. Hingga Selasa (20/11/2012), Gamawan menyebutkan 474 PNS
terdata berperkara hukum, dengan sebagian besar merupakan korupsi. Rinciannya,
95 orang tersangka, 49 terdakwa, dan 330 terpidana. Menunggu hingga Senin
(26/11/2012), Menteri Dalam Negeri mengaku tak akan terkejut kalau angka total
PNS yang berperkara pidana mencapai seribu orang.
Juru Bicara Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Johan Budi, sependapat bahwa korupsi telah melanggar sumpah
jabatan PNS. “Termasuk soal menerima sesuatu yang diduga terkait dengan
jabatan,” kata dia dalam diskusi tersebut.
Dalam menangani korupsi PNS,
imbuh Johan, KPK bisa memerintahkan atasan yang bersangkutan untuk
memberhentikannya dari jabatan struktural. “Bahkan sebelum vonis ya,” ujar dia.
Pemberhentian Tetap
Kepala Daerah, PTUN, dan Peninjauan Kembali
Diskusi juga menyinggung masalah
pemberhentian tetap kepala daerah yang tersangkut korupsi dan telah divonis
berkekuatan hukum tetap. Muncul tren, kepala daerah yang berperkara tersebut
mengajukan Peninjauan Kembali (PK) untuk kasus korupsinya, sekaligus menggugat
SK pemberhentian tetap melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Kasus Gubernur Bengkulu, Agusrin
M Najamuddin, adalah contoh yang banyak menyedot perhatian untuk persoalan ini.
“Kasus Gubernur Bengkulu, itu hanya upaya menunda-nunda eksekusi (pemberhentian
tetap),” kecam Emerson.
Agusrin telah divonis bersalah
karena korupsi, mendapat vonis berkekuatan hukum tetap, dan diberhentikan
tetap. Namun, PTUN Jakarta mengeluarkan putusan sela yang memerintahkan
penundaan pemberhentian tersebut dengan proses PK sebagai salah satu
pertimbangan.
Apapun putusan PTUN, menurut
Emerson kemungkinan besar akan diikuti pengajuan banding oleh pihak yang
berperkara yang berseberangan pendapat dengan putusan. Belum lagi, tak ada
batasan waktu soal pengajuan dan proses PK. ICW juga mencatat, setidaknya sudah
ada 20 vonis bebas kasus korupsi melalui pengajuan PK.
Wakil Menteri Hukum dan HAM,
Denny Indrayana, menambahkan setelah ditunda berkali-kali, sidang putusan
perkara Agusrin dijadwalkan digelar Kamis (22/11/2012). Terus tertundanya
sidang putusan perkara ini bertolak belakang dengan cepatnya putusan sela yang
terbit pada hari yang sama dengan didaftarkannya perkara ke PTUN Jakarta.
“Yang penting, putusan PTUN,
lusa, akan sangat penting dalam agenda pemberantasan korupsi,” kata Wakil
Menteri Hukum dan HAM. “Kalau sampai Gubernur yang sudah divonis korupsi oleh
MA tidak dapat diberhentikan, maka itu akan sangat mengganggu komitmen dan
keseriusan kita dalam memberantas korupsi”.
Dalam perkara ini, Menteri Dalam
Negeri mengaku serba salah. “Mengikuti UU (yang memerintahkan pemberhentian
tetap) atau putusan (sela) pengadilan ?” tanya dia. Putusan sela PTUN Jakarta
untuk kasus Agusrin, diterima Menteri Dalam Negeri sehari sebelum pelantikan
pejabat pengganti Agusrin.
Menteri Hukum dan HAM mengatakan
tren penggunaan PK dan gugatan ke PTUN terkait pemberhentian tetap kepala
daerah, adalah fenomena baru. Lama berkiprah sebagai pengacara, menurutnya dulu
modus serupa tak terjadi. “Sulit mencari pandangan atau perbandingan. (Dulu)
tak mengenal hal seperti ini, (putusan) kasasi tertunda karena ada putusan PTUN
yang berbeda rezim. Dulu PK tak pernah seramai ini.” – (fh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar